RAKYATSULUTONLINE.COM — JAGAD politik nasional dikejutkan dengan mundurnya Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto dari jabatannya terhitung sejak Sabtu (10/8/2024) malam. Menurutnya, keputusan ini diambil demi menjaga keutuhan partai dan stabilitas transisi pemerintahan selanjutnya. “Saya Airlangga Hartarto, setelah mempertimbangkan dan untuk menjaga keutuhan Partai Golkar dalam rangka memastikan stabilitas transisi pemerintahan yang akan datang terjadi dalam waktu dekat” (Minggu, 11/8/2024). Lanjutnya, “Maka dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim serta atas petunjuk Yang Maha Besar, maka dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar” (Kompas, 11/8/2024).
Bahkan, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri disebut “terkejut” ketika mendengar kabar mundurnya Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto kepada awak media, usai konferensi pers terkait gelaran lomba “Soekarno Run” menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 RI. Menurut Hasto, “Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Profesor Doktor Megawati Soekarnoputri terkait dengan dinamika politik nasional, khususnya yang sangat mengejutkan bagi kami adalah berita mundurnya Ketua Umum Partai Golkar Bapak Airlangga Hartarto” (Kompas, 11/8/2024). Namun, “keterkejutan” yang dialami Ibu Mega, kita tidak mendengar “keterkejutan” yang sama dialami oleh Ketua Umum lainnya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Mungkinsaja tidak “terkejut” karena sudah mengetahui sejak awal. Takut terkejut, atau terkejut tapi diam membisu takut keterkejutan yang sama terjadi pada partainya.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa di bumi Indonesia ini, selain musim hujan dan kemarau yang kita kenal, banyak sekali “musim” yang membuat orang melakukan satu aktifitas tertentu. Ada musim ujian, yakni saat mahasiswa dan pelajar mengerutkan kening menghafal dan memahami obrolan dosennya selama satu semester. Ada musim liburan, yakni saat mahasiswa dan pelajar mengendorkan otak setelah ujian. Last but not least, ada musim kawin, yakni bulan baik bagi orang untuk mulai hidup baru.

Diantara sekian banyak terminologi musim, “musim terkejut” adalah khas milik orang Indonesia. Musim jenis ini hampir tidak ada duanya di dunia. Apa itu fenomena “musim terkejut politik?” Tulisan ini berusaha menganalisis dari perspektif politik.
Budaya Politik
Ilmuwan dan pengamat politik Indonesia, sering dibuat frustasi oleh gejala-gejala sosial-politikyang saling bertentangan. Untuk menilai situasi sosial-politik sebenarnya gampang. Lihat saja aturan-aturan tertulis yang berlaku berikut interpretasi resminyakemudian kita cocokkan gejala yang tampak dengan aturan itu. Sayangnya banyak gejala yang tidak cocok, bahkan bertentangan dengan aturan yang umum dipahami.
Mari kita renungkan gagasan Sayidiman Suryohadiprojo tentangBudaya Gotong Royong dan Masa Depan Bangsa (2016), kalau betul semangat gotong royong ada dalam dada tiap insan Indonesia, maka kita tidak membutuhkan lembaga pengadilan. Bukankah seluruh masalah bisa dipecahkan dengan semangat kekeluargaan? Sejak SD kita belajar bahwa koperasi adalah soko guru perekonomian nasional. Kalau betul semangat ini ada, kita tidak akan menyaksikan oligarki merajalela tanpa kendali negara—bahkan “bersekutu” dengan negara. Seharusnya, kita justru melihat koperasi berkembang pesat menjadi model bisnis kompetitif.
Dalam olahraga dapat dilihat betapa semangat gotong royong saat ini hanya dinilai sebagai satu jargon politik. Kita piawai dalam olahraga individu yang memberikan medali sehingga bendera merah-putih dan lagu kebangsaan berkibar di Olimpiade Paris 2024 seperti badminton (perunggu), panjat tebing dan angkat besi (emas). Begitupun, olahraga yang perlu kerjasama seperti sepak bola, dulu kita selalu babak belur kalau melawan tim manca negara, tapi sekarang kita menjadi negara terkuat di Asia Tenggara bahkan diperhitungkan di level Asia—setelah Indonesia lolos di putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Tapi, kalau di kompetisi Liga lokal, babak belur karena berkelahi sesama anak bangsa.
Dengarkan pula pendapat Howard Jones, mantan Duta Besar AS untuk Indonesia, dalam bukunya; Indonesia: The Possible Dream (1973). Kalau anda mengemukakan satu pandangan kepada orang Indonesia, mereka cenderung tersenyum. Tapi senyum itu tidak berarti mereka setuju dengan pendapat anda, bisa jadi mereka justeru marah kepada anda. Simak saja contoh yang lebih kontemporer: acara hiburan di televisi. Banyak pemirsa yang bingung, ini acara untuk membuat orang senang atau justru mengajak pesta tangis? Lagu yang ditampilkan sarat dengan pesan penderitaan. Hebatnya, lagu itu dibawakan sambil tersenyum; seakan-akan penderitaan merupakan bagian dari kegembiraan. Karena itu setiap saat kita dituntut untuk selalu menerka apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Pada tingkat makro, tingkat negara, sudah banyak model yang dibangun untuk menjelaskan gejala sosial-politik di Indonesia. Ada ide Beamtenstaat (McVey, 1987). Ide ini mengatakan bahwa segala dinamika sosial-politik di Indonesia, sangat tergantung kepada dinamika birokrasi. Ada ide Bureaucratic Polity (Jackson, 1978) yang mirip dengan ide Vey. Hanya, kata Jackson, tidak seluruh jaringan birokrasi yang sangat menentukan dinamika sosial. Dinamika itu hanya ditentukan oleh perwira militer bersama dengan birokrat tingkat tinggi saja, termasuk di dalamnya para ahli yang kita kenal sebagai ahli teknologi.
Masih ada model penjelas yang lain. Seluruhnya berusaha menerangkan bagaimana kestabilan politik dipelihara di Indonesia. Namun, begitu dihadapkan kepada persoalan pergantian elit, mereka tidak mampu menjelaskannya secara ilmiah. Aspek politik ini dipandang sangat misterius (Emmerson, 1987). Sama misteriusnya dengan senyum orang Indonesia.
Untuk memahami politik di Indonesia, kita tidak boleh sekedar faham akan struktur dan bagaimana “seharusnya” struktur itu harus berfungsi. Aspek budaya, dimana struktur itu bekerja, memainkan peran sangat penting dalam melakukan interpretasi. Keadaan inilah yang berusaha dilakukan oleh Crouch (1986) dengan model Neo-Patrimonialisme-nya.
Sebenarnya Crouch meminjam ide dari Guenther Roth (1968). Dia melihat adanya gejala unik dari negara-negara baru, yakni negara-negara yang merdeka setelah PD II. Gejala itu adalah adanya upaya untuk meletakkan otoritasnya diatas prinsip baru yakni demokrasi, rasionalitas, dan tidak memandang asal-usul seseorang. Namun upaya ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh nilai-nilai tradisional yang masih sangat kental. Ini disebabkan karena kesadaran berbangsa, masih belum dapat menggantikan kuatnya ikatan primordialisme yang ada.
Basis legitimasi politik bagi seorang elit di negara baru, terutama di Indonesia, bertumpu kepada banyak faktor. Hal ini diakui King (1979). Selain otoritas legal—seperti terpilih dalam Pemilu—, prinsip tradisional memainkan peran sangat penting seperti loyalitas dan kedekatan dengan pusat kekuasaan. Bahkan, kata Emmerson, prinsip tradisional ini memainkan peran lebih penting dibanding prinsip yang lain. Bisa saja terjadi orang yang populer, disukai banyak orang, memiliki kualitas, tapi dinilai sok mengambil inisiatif sendiri, kurang loyal terhadap atasan, tidak akan pernah menjadi aktor dalam panggung politik. Inilah fenomena budaya politik kita.
Tradisi Terkejut
Harus diakui bahwa sampai detik ini kita belum berhasil membangun budaya politik Indonesia. Usaha mensintesakan unsur-unsur budaya yang ada, selalu terbentur oleh prinsip untuk memandang seluruh budaya itu sederajat. Padahal untuk keperluan satu sintesa, kita harus secara sadar menjadikan salah satu budaya sebagai patokan.
Yang umum dijadikan patokan untuk menerangkan gejala politik di Indonesia adalah tradisi Jawa. Mengapa? Karena ide tradisi ini terekam dengan rapih dalam berbagai peninggalan tertulis, seperti prasasti, hingga bisa dibuktikan validitasnya (Moertono, 1968). Selain itu, tidak bisa dipungkiri bahwa tidak ada pemimpin Indonesia yang tidak pernah bersinggungan—langsung ataupun tidak langsung—dengan budaya Jawa (Van Neil, 1967).
Hal yang bersangkut-paut langsung dengan politik adalah ide tradisi Jawa tentang kekuasaan. Digambarkan bahwa kekuasaan itu didapat karena seseorang mendapat wahyu dari Tuhan. Wahyu ini milik perseorangan, milik individu. Kalaupun kemudian ada orang lain yang ikut berkuasa, maka orang tersebut sebenarnya mendapat mandat untuk melaksanakan “sebagian kecil” kekuasaan orang yang pertama. Jadi kita tidak perlu “terkejut” dengan langkah politik catur Presiden Jokowi karena memang begitulah adat jawa.
Hirarki kekuasaan dalam tradisi Jawa, dengan demikian berbentuk seperti piramid dengan gaya centrifugal. Maksudnya, karena pusat kekuasaan berada di ujung piramid, maka orang berlomba-lomba untuk mendekat ke pusat itu. Dan, berdasarkan pemikiran Crouch (1986) dan King (1979), karena basis kekuasaan selain didasarkan atas wahyu juga didasarkan atas otoritas legal (seperti dari hasil Pemilu), maka “serunya” perjuangan mendekati pusat kekuasaan bagi partai politik akan berlangsung secara ugal-ugalan, tidak beretika, dan tidak mempertimbangkan aspirasi konstituennya. Sebaliknya, pusat kekuasaan dengan mudahnya mempergunakan otoritas legalnya untuk mengintervensi kekuasaan politik.
Kegiatan politik di Indonesia, sebenarnya berlangsung secara berkala yakni lima tahun sekali, tidak sepanjang tahun. Gebrakan-gebrakan baru yang mengejutkan, biasanya muncul di awal dan di akhir masa jabatan seseorang. Tujuan darigebrakan ini, apalagi kalau bukan dalam konteks upaya mendekati pusat kekuasaan. Diantara awal dan akhir masa jabatan, sangat jarang terjadi gebrakan-gebrakan yang menyegarkan.
Simak saja. Peresmian proyek, peninjauan keliling, berdiskusi dan foto bersama rakyat kecildan lainnya, frekuensinya selalu meningkat ketika akan dilakukan Pemilu. Ini kegiatan positif, dan akan lebih berarti bila dilakukan sepanjang tahun tidak hanya terjadi di musim Pilpres dan Pileg saja.
Sayangnya, gebrakan-gebrakan yang dilakukan, yang bertujuan untuk menyelamatkan kedudukan, sering mengorbankan lapisan elit yang ada di bawahnya. Lumrah, untuk mencapai tempat yang lebih tinggi, kita harus berpijak ke sesuatu. Untuk mencapai puncak piramid, kita harus menginjak batu-batu yang mendukung piramid itu. Kadang kala, batu yang seharusnya tidak perlu diinjak, terpaksa kita injak demi supaya lebih cepat sampai ke puncak. Padahal belum tentu mandat akan diberikan kepadanya.
Terkejut, menjadi bagian dari “permainan politik musiman” di Indonesia. Ada orang yang terkejut, karena merasa tidak melakukan kesalahan tiba-tiba di PHK. Ada pula yang terkejut, karena merasa tidak memiliki kemampuan yang memadai, tiba-tiba ditunjuk menjadi pemimpin nasional untuk menjalankan tugas tertentu. Akibatnya, orang tersebut meneruskan “keterkejutannya” dengan membuat terkejut orang-orang di sekitarnya.
Pergeseran di birokrasi seperti; Eselon I dan pencopotan pejabat eselon II, pemeriksaan terhadap mantan Dirjen oleh Aparat Penegak Hukum (APH) sampai ke pemberian konsensi tambang untuk Ormas Islam, adalah contoh-contoh kejutan yang saat ini terjadi. Sering kejutan ini masih akan terus berlangsung sampai 21 Oktober saat pelantikan Presiden Prabowo. Setelah Prabowo resmi menjadi presiden, akan banyak orang terkejut karena tidak menyangka akan diberi mandat menjadi Menteri atau bahkan posisi penting lainnya. Atau terkejut karena sudah “membuat kejutan,” justru tidak mendapatkan amanah dalam pemerintahan baru.
Model terkejut yang manapun rasanya tidak menyenangkan. Setidaknya terkejut dapat menyebabkan orang sakit jantung. Karena itu, tugas berat kita untuk masa mendatang adalah membangun pola karir dalam dunia politik yang terstruktur dan legitimate. Dengan pola ini, orang tidak perlu pusing memikirkan apa yang tersirat di balik yang tersurat. Selama pola ini belum ada, maka “Musim Terkejut” akan tetap hadir dibumi pertiwi ini setiap lima tahun sekali. (***)