RSOL, rakyatsulutonline.com — Yang dimaksud ”Allah is A God” dalam tulisan ini ialah personifikasi Tuhan (personal God), yaitu Allah SWT yang telah memperkenalkan diri-Nya sebagai pribadi (as a Person) yang tak bisa dibandingkan dengan apapun dan siapapun, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (Q.S. Al-Syura/42:11). Dalam ayat lain dipertegas lagi: “Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam” (Q.S. Ali ‘Imran/3:97). Sedangkan ”Allah is The God” ialah Tuhan Maha Meliputi (Al-Muhith) segala sesuatu (impersonal God), sebagaimana Ia memperkenalkan diri-Nya di dalam beberapa ayat, antara lain: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Hadid/57:4), “Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”. (Q.S. Qaf/50:16), dan “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah/2:115).
Allah SWT sebagai “Personal God” dan ” Inpersonal God” dapat dihubungkan dengan konsep al-tanzih (incomparability) dan al-tasybih (similarity). Kedua terminologi ini menjadi sangat mendasar karena mempengaruhi suasana batin dan etos kerja seorang muslim. Konsep ini juga menjadi salah satu pangkal perbedaan mendasar antara para mutakallimin/teolog dan para sufi. Secara kebahasaan tanzih berarti jauh dan tasybih berarti menyerupai.
Wacana Tuhan sebagai A God dan The God sebetulnya muncul juga sebagai suatu perdebatan konseptual di dalam aama-agama lain. Dalam agama Hindu, sebuah agama yang jauh lebih tua dari pada agama Islam, juga dikenal aliran Advita Vedanta (non-duality) yang menganggap Tuhan memiliki privasi dan distinktifnya sendiri, dan aliran Dwita Wedanta yang mengakomodir faham dualitas, yakni adanya Brahma Saguna yang memiliki entitas sendiri sesuai dengan kapasitasnya sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa, dan Brahma Nirguna yang tidak memiliki entitas dan privasi sendiri, melainkan menyebar di mana-mana. Konsep ini mengingatkan kita kepada konsep jauhar dan ’aradl di dalam teologi Islam.

Dalam Taoisme juga muncul wacana serupa, yang sering disimbolkan dengan Yan dan Yin. Demikian pula dalam tradisi Zohar dalam agama Yahudi, yang lebih dikenal dengan Ein Sof dan Sefirot. Hanya Keberadaan Brahma Yang Mutlak, dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Advaita Vedanta yang berarti “tak ada duanya”.
Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya. Dalam konsep Advaita Vedanta menganggap Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahma. Hanya Brahma yang dapat disebut Sat (existence or truth), artinya hanya Brahma yang demikian keberadaan, dan Ananda (Bliss). Di luar Brahma keadaannya adalah a-sat (consciousness), artinya bukan keberadaan yang ada secara kekal. Namun di dalam pengalaman hidup sehari-hari dunia kelihatannya benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan diamati. Ajaran Advaita dari Sankara menegaskan sifat transenden dari Brahma yang tiada dua-Nya dan juga dualisme daripada alam semesta termasuk Isvara yang memerintahnya. Yang nyata adalah Brahma atau Atma.
Wacana dalam agama Hindu di atas mengingatkankita kepada konsep Tanzih (dari kata nazzaha berarti menjauh, berjarak, dan membersihkan), sebuah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan dan makhluk-Nya amat jauh dan tak terbandingkan (uncomparable). Tuhan tak dapat digambarkan dan dibandingkan dengan makhluk-Nya. Ia berbeda secara mutlak dengan makhluk-Nya dan tidak ada kata sifat yang mampu melukiskan-Nya. Sedangkan tasybih (dari kata syabbaha berarti menyerupakan) yakni menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Tasybih adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai kemiripan dengan alam sebagai makhluk-Nya karena alam adalah lokus penampakan (madhhar) diri-Nya. Dengan kata lain, alam (secara harfiah berarti tanda) adalah ayat untuk mengungkap identitas Tuhan.(**)