Februari 6, 2025
Artikel Manado

Tahun Baru, Pemimpin Baru Dalam Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara

A. LATAR BELAKANG

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Indonesia pada 27 November 2024 adalah salah satu agenda besar dalam proses demokrasi di Indonesia. Pilkada ini melibatkan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di sejumlah daerah di Indonesia. Pilkada ini sangat penting karena kepala daerah terpilih akan memiliki peran signifikan dalam mengelola pemerintahan daerah, baik dalam hal kebijakan pembangunan, pengelolaan anggaran, pelayanan publik, hingga penanggulangan isu sosial dan ekonomi di tingkat lokal.
Secara khusus Pilkada di Sulawesi Utara telah melahirkan Pemimpin Sulawesi Utara yang baru terpilih, Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara yang dipilih oleh Masyarakat Sulawesi Utara dengan total suara sah sebesar 539.039 (lima ratus tiga puluh sembilan ribu tiga puluh sembilan) yang oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi Sulawesi Utara lewat Keputusan KPU Nomor 866 Tahun 2024, tanggal 7 Desember 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Tahun 2024, Diktum Kedua menetapkan  MAYJEN.TNI (PURN) YULIUS SELVANUS, SE sebagai Gubernur dan Dr. JOHANNES VICTOR MAILANGKAY, SH. MH sebagai Wakil Gubernur Periode 2025-2030.
Dalam Kampanyenya Pasangan yang dikenal dengan YSK Victory ini, salah satu ambisi dan komitmen adalah untuk  memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme  bahkan tidak tanggung-tanggung hal ini dimasukkan dalam point  pertama  untuk  8  Misi  Prioritas  Pasangan ini sebagai bagian dari reformasi hukum dan  birokrasi demi mewujudkan Visi menuju Sulawesi Utara yang maju, sejahtera dan berkelanjutan di Gerbang Pasifik.
Alhasil, Pasangan Mayjend (Purn) Yulius Selvanus, SE dan Dr. Johannes Victor Mailangkay, SH. MH dipilih oleh 539.039 suara sah Masyarakat Sulawesi Utara dan keluar sebagai Pemenang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Utara.
Cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sulit tercapai jika korupsi, kolusi, nepotisme masih merajalela. Oleh karenanya untuk kepentingan seluruh Rakyat Indonesia, Pencegahan dan Pemberantasan KKN  menjadi isu strategis yang memerlukan sinergitas dari  seluruh pemangku kepentingan untuk mengakses pencapaian   visi  Presiden Prabowo Subianto tahun 2024-2029, yakni bersama  Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045, dengan salah satu  Misi yang diemban yaitu memperkuat reformasi Politik, hukum dan birokrasi  serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Pencapaian Visi menuju Sulawesi Utara yang maju, sejahtera dan berkelanjutan, sangat tergantung dari sejauh mana upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Sulawesi Utara, dapat berjalan dengan baik agar dapat memperkecil ketimpangan pendapatan dan kemiskinan serta meningkatkan tingkat Investasi di Sulawesi Utara.

B. PERMASALAHAN
1). Bagaimana Pandangan Masyarakat Sulawesi Utara tentang Korupsi ?
2). Bagaimana Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara ?

banner

C. PEMBAHASAN
A. Pandangan Masyarakat Sulawesi Utara Tentang Korupsi
Isu pemberantasan Korupsi  ini diterjemahkan melalui penguatan stabilitas penegakkan politik keamanan  dan hukum, dengan penyelenggara negara yang bebas KKN yang menjadi pilar dalam setiap langkah pencegahan korupsi, oleh karenanya  didalam kurun waktu terakhir di tahun 2018, Pemerintah telah menerbitkan  Peraturan Presiden  No. 54 Tahun 2018 Tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi ( Stranas PK). Strasnas PK ini merupakan upaya terintegrasi pemerintah sebagai komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia sebagai komitmen bersama dengan mengedepankan sinergitas seluruh pemangku kepentingan dalam memberantas korupsi, karena Korupsi sebagai kejahatan luar biasa,  tidak dapat diberantas oleh satu pihak saja, karena Korupsi adalah produk dari relasi  social – politik  dan ekonomi yang pincang dan tidak manusiawi.
Bagi Masyarakat Sulawesi Utara, pemberantasan Korupsi menjadi suatu keniscayaan dan dambaan masyarakat,  memang  perlu kerja ekstra karena  dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik yang dipublikasikan pada tanggal 15 Juli 2024, menyebutkan  Indeks Perilaku Anti Korupsi  (IPAK)  Indonesia Tahun 2024  sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian tahun  2023 sebesar 3,92, dan angka ini pula lebih rendah dibandingkan dengan capaian  tahun 2022 sebesar, 3,93 poin.  IPAK adalah ukuran tingkat perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia yang diukur dengan  skala 0 – 5, nilai indeks yang semakin mendekati angka 5 menunjukkan  bahwa  masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sedangkan  nilai indeks yang semakin mendekati 0, menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif  atau membolehkan terhadap  perilaku korupsi.  Berdasarkan  data  IPAK  tahun  2024  dibandingkan data IPAK tahun 2023 dan data IPAK Tahun 2022 ini, menunjukkan masyarakat Indonesia  berperilaku  semakin  permisif atau membolehkan terhadap perilaku korupsi.
Sedangkan hasil survey yang dikeluarkan oleh Transparancy Internasional Indonesia,  untuk  mengukur resiko yang dikenal dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dimana semakin tinggi skor (skala 100) dan semakin skor rendah (skala 0)  mengindikasikan  resiko korupsi tinggi dan untuk Indonesia sejak tahun 2015 hingga tahun 2024 mengalami  fluktuasi  artinya  tidak  selalu  naik maupun  turun,  berikut  data  jelasnya :
Tahun 2015  skor IPK  36,
Tahun 2016  skor IPK  37,
Tahun 2017  skor IPK  37,
Tahun 2018  skor IPK  38,
Tahun 2019  skor IPK  40,
Tahun 2020  skor IPK  37,
Tahun 2021  skor IPK  38,
Tahun 2022  skor IPK  34,
Tahun 2023  skor IPK  34,
Tahun 2024  skor IPK  34,
Data  ini  menunjukkan  penanganan  Korupsi  di  Indonesia  dalam  kurun waktu 10 Tahun, meskipun  ada kenaikan di Tahun 2019, tetapi kemudian mengalami penurunan, bahkan sejak tahun 2020 hingga tahun 2024 penanganan  Korupsi  tidak  berdampak  baik.
Berdasarkan pemetaan sektor yang dilakukan  Indonesian  Coruption Wach  (ICW) dalam kurun waktu tahun 2018 – 2023,  korupsi di Indonesia bermuara pada sektor anggaran desa, tranportasi, pemerintah, pendidikan, pertanahan, perbankan, kesehatan, pengairan, sosial kemasyarakatan, pemilu, ketenagakerjaan, olahraga, energi dan listrik, serta perdagangan.

Sedangkan di Sulawesi Utara dalam kurun waktu Tahun 2024 penanganan Perkara Korupsi se Kejaksaan Sulawesi Utara mengalami kenaikan cukup signifikan dibanding  dengan tahun 2023  Sebagai  berikut :
Pada tahap Penyelidikan  di Tahun 2023 terdapat sebanyak 52  perkara korupsi  dan  pada  tahun  2024  mencapai  88  perkara,  mengalami  kenaikan 69  persen.
Pada tahap Penyidikan di Tahun 2023 terdapat sebanyak 35  perkara korupsi dan  pada  tahun  2024  mencapai 45 perkara, mengalami kenaikan 29 persen.
Pada tahap Pra Penuntutan  di Tahun 2023 terdapat sebanyak 32  perkara korupsi  dan  pada  tahun  2024  mencapai  51 perkara,  mengalami  kenaikan 42  persen.
Pada  tahap   Penuntutan  di Tahun 2023 terdapat sebanyak 36  perkara korupsi  dan  pada  tahun 2024 mencapai 58 perkara, mengalami kenaikan 81 persen.
Pada  tahap  Eksekusi di Tahun 2023 terdapat sebanyak 35  perkara korupsi dan  pada  tahun  2024  mencapai 58 perkara, mengalami kenaikan 66 persen.
Dan total kerugian negara dalam penanganan perkara korupsi oleh Kejaksaan  se Sulawesi Utara  adalah Rp. 44.271.701.087 dan untuk pemulihan dan penyelamatan kerugian keuangan negara selama tahun 2024,  Kejati Sulut  ( tahap Penyelidikan dan Penyidikan )  adalah sebesar  Rp. 7.629.518.545,  Kajari  dan  Kacabjari se Sulawesi Utara mencapai Rp. 11.033.632.650 ditambah  asset  yang  belum  ditaksir  nilainya.
Total pemulihan dan penyelamatan kerugian keuangan negara selama  tahun 2024 Kejaksaan se Sulawesi Utara ( tahap Penyelidikan, Penyidikan, Penuntutan, Eksekusi) adalah sebesar Rp. 18.633.151.195 dan asset yang belum ditaksir nilainya dengan prosentasi pemulihan dan penyelamatan kerugian  keuangan  negara  di  Kejaksaan  se Sulawesi Utara kurang lebih 42,16  persen.
Berdasarkan data-data tersebut diatas, Permasalahan korupsi  berimplikasi pada kepercayaan publik khususnya Masyarakat Sulawesi Utara terhadap pemerintah, para pemimpin politik, pejabat-pejabat serta demokrasi. Padahal kepercayaan tersebut menjadi syarat utama dalam keamanan berinvestasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Para Investor memiliki ketakutan pada pemerintah yang berperilaku korup. Karena korupsi memperlambat kemajuan ekonomi yang menjadi sebuah ancaman bagi investor.

2.  Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Sulawesi Utara
Berbagai penelitian menunjukkan bukti empiris bahwa korupsi akan meningkatkan inefisiensi dalam pengeluaran pemerintah, mengurangi potensi investasi pada suatu daerah yang juga mengakibatkan penurunan pertumbuhan ekonomi dan ketidakstabilan politik.
Selain berdampak terhadap ekonomi, korupsi memengaruhi ketimpangan sosial warga, ketidakseimbangan supply dan demand, eksklusivitas, dan monopoli  informasi.  Hal ini terbukti pada ketimpangan yang terjadi di Sulawesi Utara, pertumbuhan  ekonomi  selama  satu dasawarsa terakhir hanya menguntungkan 20 persen warga terkaya, sementara 80 persen populasi  tertinggal di belakang. Meningkatnya kesenjangan standar hidup dan  semakin  terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang, menyebabkan  tingkat ketimpangan Sulawei Utara  relatif tinggi. Ketimpangan pendapatan menjadi tidak adil ketika tidak semua orang memiliki peluang awal yang sama karena adanya korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga pencegahan dan pemberantasan korupsi membutuhkan komitmen dan konsisten pemimpin politik dan pemerintah, sehingga kebijakan hukum, kebijakan alokasi personil, dan kebijakan alokasi anggaran mendukung dalam upaya pencegahan dan  pemberantasan korupsi yang harus didasarkan pada asas kesetaraan kewenangan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah tiga bentuk perilaku yang sering kali ditemukan dalam pengelolaan kekuasaan dan pemerintahan. Ketiga praktik ini merusak sistem administrasi negara, mendorong ketidakadilan sosial, dan memperburuk pembangunan ekonomi serta sosial.
Korupsi merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok dengan cara yang ilegal atau tidak sah. Dalam konteks pemerintahan, korupsi sering melibatkan pengambilan uang atau sumber daya negara secara tidak sah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Faktor-Penyebab Korupsi perlu mendapatkan perhatian yang serius, misalkan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi, ketika terdapat ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kesempatan, orang-orang yang kurang mampu mungkin merasa terpaksa untuk melakukan tindakan korupsi untuk memperbaiki posisi ekonomi mereka. Selanjutnya misalkan, Lemahnya Penegakan Hukum, di negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah, pelaku korupsi dapat dengan mudah menghindari hukuman. Pengawasan yang tidak efektif membuat praktik ini sulit diberantas. Serta tidak kalah pentinya adalah Budaya Korupsi, yang dalam beberapa budaya, korupsi bisa dianggap sebagai “kebiasaan” atau cara yang umum untuk memperoleh keuntungan. Budaya semacam ini dapat mendorong lebih banyak individu untuk ikut terlibat dalam tindakan korupsi.
Selanjutnya berbicara tentang Kolusi adalah tindakan kerjasama yang tidak sah antara dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan tertentu yang merugikan pihak lain atau bertentangan dengan hukum. Dalam sektor publik, misalnya kolusi sering terjadi antara pejabat pemerintah dan pihak swasta untuk mengatur kontrak atau kebijakan demi keuntungan bersama.
Faktor Penyebab Kolusi juga bermacam-macam, misalnya Keuntungan Ekonomi,  Pejabat yang terlibat dalam kolusi bisa mendapatkan keuntungan berupa uang atau fasilitas dari pihak yang terlibat dalam kesepakatan. Sebagai contoh, perusahaan swasta dapat memberikan suap kepada pejabat untuk memenangkan tender proyek pemerintah. Selanjutnya, Kurangnya Transparansi, jika proses pengambilan keputusan pemerintah atau bisnis tidak transparan, maka peluang terjadinya kolusi meningkat. Tanpa pengawasan yang baik, pihak-pihak yang terlibat bisa bekerja sama untuk menutupi tindakan mereka yang merugikan. Serta Kepercayaan Berlebihan antara Pihak-pihak Terkait, ketika hubungan antara pejabat dan pengusaha atau pelaku bisnis sangat dekat, hal ini bisa menumbuhkan rasa saling percaya yang akhirnya melahirkan kolusi demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Selanjutnya Nepotisme adalah tindakan memberikan jabatan, keuntungan, atau perlakuan istimewa kepada kerabat atau keluarga sendiri, tanpa memperhatikan kemampuan atau kualifikasi yang seharusnya.
Faktor Penyebab Nepotisme juga menjadi perhatian, antara lain Budaya Keluarga, dalam banyak masyarakat, terutama yang mengutamakan ikatan keluarga, ada kecenderungan untuk mengutamakan kerabat dalam posisi strategis. Hal ini dapat menciptakan ketidakadilan dalam kesempatan kerja dan pengelolaan sumber daya. Selanjutnya Kepercayaan Terhadap Keluarga atau Teman Dekat, Pihak yang berkuasa mungkin merasa lebih nyaman menunjuk keluarga atau teman dekat untuk posisi-posisi tertentu karena merasa lebih percaya dan yakin akan loyalitas mereka, meskipun tidak selalu memenuhi syarat atau kemampuan yang dibutuhkan. Serta yang tidak kalah menentukannya adalah Kelemahan Sistem Rekrutmen, Proses rekrutmen yang tidak transparan dan tidak berdasarkan pada meritokrasi system dapat mendorong praktik nepotisme, di mana orang yang tidak berkompeten tetapi memiliki hubungan keluarga atau kenalan dengan pejabat, dapat mengakses posisi yang tidak seharusnya mereka tempati.
Ketiga praktik ini sering kali terjadi secara bersamaan dan saling terkait. Dalam banyak kasus, korupsi dapat terjadi dalam konteks kolusi, misalnya antara pejabat pemerintah dan pengusaha yang terlibat dalam pengaturan kontrak yang merugikan negara. Kolusi ini, pada gilirannya, bisa didorong oleh nepotisme, di mana pejabat memilih untuk bekerja sama dengan kerabat atau teman dekat dalam melaksanakan proyek-proyek negara, meskipun mereka tidak memiliki kualifikasi atau tidak sesuai dengan standar profesional.
Sebagai contoh, dalam sebuah pemerintahan yang korup, pejabat bisa saja memanfaatkan posisi mereka untuk memberikan kontrak kepada perusahaan milik keluarga atau teman dekat mereka (nepotisme), dan dalam prosesnya bisa terjadi pengaturan atau penyalahgunaan wewenang (kolusi) untuk meraup keuntungan bersama.
Untuk Korupsi Penelitian dari Transparency International Indonesia, salah satu penyebab skor CPI Indonesia rendah adalah karena Korupsi Politik, antara lain mewajarkan konflik kepentingan dan gratifikasi, Politik berbiaya tinggi, politik uang, Pengawasan dan instrument aturan yang tidak jelas, kaburnya batas antara Pejabat dan Pengusaha, dan Partai Politik yang dipelihara oligarki. Sementara itu Survey Penilaian Integritas di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 72,03 persen pada tahun 2023. Artinya, angka tersebut masih dalam zona merah SPI nya atau rentan terjadi Korupsi.
Oleh karena itu sangat diperlukan Tindakan activism Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara khususnya bagi Gubernur dan Wakil Gubernur yang Baru Terpilih  untuk  melahirkan  creativity  dan  terrorism dalam  Mencegah Dan  Memberantas  Korupsi  di Sulawesi  Utara.

D. KESIMPULAN
Adapun kesimpulannya adalah :
1.Kurang percayanya Masyarakat Sulawesi Utara terhadap Pemerintah Daerah, para pemimpin politik, pejabat-pejabat serta demokrasi. Padahal kepercayaan tersebut menjadi syarat utama dalam keamanan berinvestasi yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Para Investor memiliki ketakutan pada pemerintah yang berperilaku korup.  Karena korupsi memperlambat kemajuan ekonomi yang menjadi  sebuah  ancaman  bagi  investor.

2.Sangat diperlukan Tindakan activism Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara  untuk  melahirkan  creativity  dan  terrorism dalam  Mencegah  Dan  Memberantas  Korupsi  di Sulawesi  Utara.(**)

 

Postingan Lainnya

Sinergi BUMN, PLN Berbagi Kasih di Lapas Perempuan dan Gereja GPDI Eben Haezer Palu

admin-rsoldotcom

Paslon ANDALAN Bolmut Dapat Suntikan PKS Manado

admin-rsoldotcom

Diskon Listrik Mulai Berlaku, Beli Token Bisa Sepanjang Bulan

admin-rsoldotcom

Tinggalkan komentar